RANGKUMAN BUKU
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
IKHTIAR MENATA KELEMBAGAAN ISLAM
Dosen pengampuh
Drs. H. Abdul wahib sholeh, M.ag
Disusun oleh:
NIK ‘ATIN
NIM: 2007875
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM
LAMONGAN
2011
BAB IV
DISKURSUS MANAJEMEN DALAM ISLAM
A. Pengetahuan tentang Hukum-hukum Tuhan (Sunnatullah): Modal awal landasan Teologis
Sunnatullah merupakan aturan-aturan Tuhan yang diyakini memiliki kebenaran bersifat mutlak. Aturan tersebut memiliki cara kerja yang menurut banyak kalangan disebut sebagai sebab akibat, obyektivikasi sunnatullah ini memiliki derajat yang amat tinggi kebenarannya.
Menurut D.Sudjana (2000) ada 5 yang melekat dalam ilmu sunnatullah yaitu:
1. Hukum sebab –akibat yaitu salah satu hukum untuk mengatur kehidupan manusia yang memiliki prinsip apa yang telah dilakukannya akan berdampak hasilnya terhadap manusia yang telah melakukan sesuatu itu. Hukum ini kerap dipahami bahwa apa yang ditanamkan itulah kelak yang akan dipetik.
2. Hukum kelipatan timbal balik yaitu Hukum yang mengatur tentang proses pertambahan potensi kehidupan manusia dan lingkungannya. Dapat diasumsikan bahwa seseorang yang menanam maka akan ditumbuhkan lipatan kali hasil tanamannya.
3. Hukum ketidakmelekatan yaitu hukum ini bertolak dari asumsi yang menyatakan bahwa untuk mendaptkan yang diinginkan dalam alam semesta hendaknya manusia melepaskan diri dari kemelekatan terhadapnya. Menurut D.Sudjana kemelekatan itu bersumber dari rasa takut, rasa tidak aman, rasa sombong, atau rasa miskin yang terdapat dalam diri seseorang. Sedangkan ketidakmelekatan berarti adanya kesadaran pada diri seseorang terhadap kekayaan yang akan menumbuhkan kebebasan, tanggung jawab dan kreativitas dalam mencapai tujuan.
4. Hukum berpasangan (polaritas) yaitu: Hukum ini menjelaskan bahwa alam ciptaan Tuhan selalu terbagi kedalam dua bagian yang berpasangan yaitu siang-malam, laki-laki-perempuan, tua-muda, besar-kecil, untung-rugi, menang-kalah, banyak-sedikit dan lain sebagainya. Hal ini selaras dengan Qs. faathir ayat 11.
5. Hukum siklus kehidupan yaitu hukum yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang dilahirkan (seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, produk berupa barang dan jasa pelayanan) akan tumbuh dan berkembang, mati dan hidup lagi.
Kelima sunnahtullah diatas memberikan kerangka pemahaman bahwa manusia sebagai makhluk Allah SWT senantiasa memiliki peran yang sangat fitrah yaitu sebagai khalifah fil ardhi.
B. Tauhid sebagai Basis Etika dalam Manajemen
Diskursus tentang tauhid sama halnya dengan memperbincangkan tentang ketuhanan dan hal-hal yang diangggap pokok dalam agama. Tauhid yaitu kepercayaan bahwa tiada Tuhan selain Allah.
Menurut al-Faruqi (1992: 2), Tauhid dipahami sebagai worldview (pandangan dunia)yang memiliki lima prinsip pokok yaitu:
1. Dualitas
2. Ideasionalitas
3. Teleologi
4. Kapasitas(Kecakapan) manusia dan maliabilitas (kelunakan) Alam
5. Keputusan dan tanggung jawab.
Kelima prinsip tauhid tersebut melahirkan konsekuensi berupa munculnya kebutuhan terhadap agama. Menurut Abuddin Nata(2001: 14) ada tiga hal yang mendasari manusia membutuhkan agama, yaitu :
1. Secara psikologi manusia memiliki naluri untuk mempercayai kekuatan lain yang ada diluar dirinya.
2. Disamping memiliki keunggulan manusia juga memiliki kelemahan, seperti kecenderungan untuk berbuat dzalim, egoistik, melampaui batas, keluh, kesah dan sebagainya
3. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan berbagai keperluan hidupnya baik yang bersifat fisik maupun non fisik.
Secara teologis, setiap insan yang melakukan pekerjaan yang didasari keimanan dan mengharap keridhaan Allah, dikategorikan beribadah. Jenis-jenis pekerjaan yang relevan dalam perspektif agama yaitu:
1. Proses dan hasilnya kepada Tuhan, masyarakat, dan hati nuraninya.
2. Pekerjaan yang selalu berorientasi pada nilai tambah dengan cara meningkatkan kemampuan profesionalisnya.
3. Pekerjaan yang dari waktu ke waktu semakin meningkat kualiitasnya.
4. Pekerjaan yang memiliki standar untuk memudahkan evaluasi.
5. Pekerjaan yang didasarkan pada prinsip iman dan amanah.
Pertanggungjawaban agama terhadap segala aktivitas manusia disadari sebagai upaya agama memberikan bimbingan kearah kebaikan yang bersifat universal. Dengan mengacu salah satu paradigma sunnatullah. Tak terkecuali dengan meminjam istilah manajemen, penguatan kapasitas sumber daya manusia sejatinya diarahkan pada upaya mendorong manusia agar mampu bekerja secara unggul dan mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya.
Dengan potensi akal pikiran, panca indera, dan hati yang dimilikinya manusia memiliki kebebasan moral untuk memilih dan menyesuaikan diri dengan kehendak Allah SWT, dalam bentuk pekerjaan-pekerjaan yang halal secara proses dan hasilnya.
C. Prinsip- Prinsip Manajemen dalam Islam
Istilah manajemen dalam islam seringkali merujuk pada dua kata yakni al-idarah dan berasal dari yudabbiru yang merujuk pada sebuah karya intelektual Dr.Hafidz Ahmad ‘Ajaz al-Karamy (2006) dalam bukunya berjudul al –idarah fi ‘Asr ar-Rasul: Dirasah Tarikhiyyah li an-Nudhum al-idarah fi ad-Daulah al-islamiyah al-Ula. Buku ini menempatkan kata al–idarah yang secara etimologi berarti kantor, mengalami perluasan makna menjadi manajemen atau hal-hal yang berurusan dengan administrasi.
Istilah bahasa arab lainnya untuk menjelaskan tentang manajemen, yaitu yudabbiru. Dalam kamusnya kamusnya Mahmud Yunus menjelaskan bahwa kata ini berasal dari derivasi dabbara yang memilki arti mengarahkan, mengelola, melaksanakan, menjalankan, mengatur atau mengurusi. Orang yang mengarahkan disebut mudabbir. Sementara obyeknya disebut mudabbar, yang berarti diarahkan (Mahmud Yunus ,1973). Berdasarkan pengertian etimologi tersebut, berbagai bentuk pengelolaan dan pengaturan organisasi dapat dipahami secara mendasar pada kata dabbara, yudabbiru, tadbiran, mudabbar, mudabbir, dan derivasi lainnya.
Kata dabbara dalam Al-Qur’an ditemukan setidaknya empat ayat, yaitu QS.Yunus 10:3, QS.Ar-Ra’du 13:2, dan QS.As-Sajadah 32:5 Secara umum, pengaturan dalam Al-Qur’an memiliki makna trasendental yakni Allah SWT melakukan pengaturan terhadap segala urusan makhluk-Nya melalui hukum-hukum Tuhan (sunnatullah). Oleh karena itu manusia dituntut untuk senantiasa melakukan kebaikan mencegah berbuat jahat. Paradigma pengaturan, pengelolaan, penataan, perencanaan dan pengawasan dalam hal ini merupakan kewajiban manusia baik sebagai pemimpin dirinya sendiri maupun lingkungan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Jika hal ini tercapai atau dalam bahasa manajemen target, sasaran dan tujuan dapat ditepati, berupa mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan terhadap sesama manusia.
Sebagai sebuah system agama, islam memiliki tanggung jawab normative untuk membimbing umatnya menuju pencapaian kondisi yang lebih baik, makmur, sejahtera, dan dalam keridhaan-Nya. Pendekatan islam terhadap pola pengaturan ini dalam kenyataannya dapat dilakukan secara formal maupun non formal. Sebagai bentuk pertanggung jawaban teologis islam memiliki cukup banyak konsep dan dua prinsip pokok yang memilki system nilai dan berdampak pada hal-hal lainnya. Kedua prinsip pokok tersebut yaitu:
1.Khalifah
Kata khalifah berasal dari kata khalif yang berarti ‘di belakang’ dapat dilihat pada QS.Al-Baqarah 2:55. Dari khalf terbentuk berbagai kata yang lain, seperti kata khalifah(pengganti), khilaf (lupa atau keliru), dan khalafa (mengganti). Kata khalf dalam Al-Qur’an disebut 127 kali, sedangkan kata khalifah sendiri disebut dua kali, yaitu pada QS.Al-Baqarah 2:30 dan QS.Shad 38:26. Selain dalam bentuk mufrad (tunggal), kata khalifah juga muncul di dalam dua bentuk jamak yaitu khala’if dan khulafa. khala’if dijumpai empat kali, yaitu pada QS.Al-An’am 6:165, QS.Yunus 10:14 dan 73, dan QS.Fathir 35:39, Adapun kata khulafa dijumpai tiga kali yaitu pada QS.Al-A’raf 7:69, dan An-Naml 27:62.
Dari penggunaan kata-kata khalifah didalam ayat-ayat diatas dapat dirumuskan bahwa kekhalifahan mengharuskan empat sisi yang saling berkaitan yaitu (1) pemberi tugas : yaitu Allah SWT. (2) Penerima tugas,yaitu:manusia baik perorangan maupun kelompok (tempat atau lingkungan tempat manusia hidup. Dan (4) materi-materi penugasan yang harus dilaksanakan. Untuk kesuksesan tugas kekhalifahan, Allah SWT memperlengkapi penerimaan tugas itu dengan potensi tertentu antara lain: (1) kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi dan kegunaaan segala macam benda (QS.Al-Baqarah 2:31) dan (2) ditundukkannya bumi, langit dan segala isinya oleh Allah SWT kepada khalifah ini(QS.Al-jatsiyah 45:3).
Didalam QS.Al-Anbiya’ 21:73, QS.As-Sajadah 32:24, QS.Shad 38:26 disimpulkan ada tujuh sifat terpuji yang selayaknya dimiliki seorang khalifah yaitu: (1) kemampuan untuk menunjukkan jalan kebahagiaan kepada yang dipimpinnya; (2) akhlak yang mulia; (3) iman yang kuat; (4) taat beribadah; (5) sifat sabar; (6) sifat adil;dan (7) sifat tidak memperturutkan hawa nafsu.
Disamping sifat-sifat terpuji diatas, seorang pemimimpin sebagaimana QS.Al-Qashas 28:26 dan Yusuf 14:54 harus kuat dan dipercaya, kuat disini tidak hanya kuat mental melainkan memiliki keahlian dalam memimpin.
2.Amanah
Menurut Al-Maraghi pengertian amanah mengacu pada pengertian bidang muamalah yakni kewajiban seseorang berlaku jujur didalam membayar utangnya. Dalam penelusuran Ensiklopedi Al-Qur’an (2007:83) kata amanah memiliki arti yaitu ‘yang dipercayakan (dititipkan )kepada orang lain, keamanan atau ketentraman dan dapat (boleh) dipercaya atau setia.
Terdapat empat konteks pengertian amanah dalam Al-Qur’an yakni :
1. Konteks pembicaraan tentang perdagangan berupa jaminan yang harus dipegang oleh seorang amanah (jujur). (QS.Al-Baqarah 2:283).
2. Tentang kesediaan manusia melaksanakan amanah yang ditawarkan oleh Allah SWT setelah sebelumnya tidak ada satupun makhluk yang sanggup memikulnya. (QS.Al-Ahzab 33:72).
3. Tentang perinntah Allah agar manusia melakukan amanah kepada pemiliknya. (An-Nisa 4:58).
4. Tentang salah satu cara yang bisa membebaskan manusia dari rasa keluh kesah dan sifat kikir ialah dengan cara memelihara amanah.
Kebalikan dari sifat amanah yaitu khianat, kata ini dalam Al-Qur’an menjelaskan tentang pentingnya menjaga amanah berupa nikmat-nikmat Allah SWT. Salah satu nikmat Allah yang senantiasa mengiringi peradaban manusia yaitu terlepasnya manusia dan bangsa dari berbagai penindasan, penjajahan, keterkucilan sosial, rasa takut, pelanggaran HAM dan lain-lain.
Berkenaan dengan konsep manajemen, sikap amanah merupakan modal utama dalam mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada. Dalam hal ini Allah mempercayakan manusia untuk mengelola alam untuk kebaikan manusia dan kemakmuran alam, dan keteladanan manusia yang menduduki jabatan tertentu sangat diprlukan untuk kebaikan organisasi. Profesionalisme dalam hal ini merupakan upaya memaksimalkan kinerja, agar tujuan organisasi dapat tercapai secara maksimal.
Dari uraian di atas mengenai dua prinsip yaitu khalifah dan amanah, sangat berkontribusi pada pengembangan konsep manajemen dalam tradisi islam dan kedua prinsip ini dapat menjadi landasan bagi pengembangan organisasi, dan mengendalikan organisasi atau lembaga modern. Konsep dalam manajemen memiliki kesamaan prinsip dengan pola pengaturan dan pengelolaan sebuah institusi dalam islam. Islam senantiasa memberikan prinsip-prinsip universal mengenai pengaturan manusia. Semua peran dan fungsi manajemen mendapat perhatian dalam islam. Untuk itu fungsi dan peran manajemen tersebut dapat dijelaskan dibawah ini dengan memanfaatkan perspektif islam.
1.Perencanaan
Kesuksesan sebuah pekerjaan, organsisasi, atau lembaga seringkali dipengaruhi oleh system perencanaan. Islam dalam hal ini memberikan spirit melalui pertimbangan yang bersifat jangka panjang, islam senantiasa berpandangan jauh ke masa depan dan juga memperhatikan terhadap kualitas pekerjaan, sehingga tujuan dan target dapat dicapai dengan baik.
Menurut Syarifuddin merencanakan merupkan tindakan awal sebagai pengakuan bahwa suatu pekerjaan tidak semata-mata ditentukan sendiri keberhasilannya namun banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut tentu saja dipersiapkan untuk mendukung keberhasilannya. Sebagaimana dijelaskan dalam QS.Al-Hasyr 59:18.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dalam ayat tersebut memberikan landasan dalam penyusunan perencanaan
1. secara teologis kehidupan manusia diatur dan dibimbing Allah SWT untuk mendapat derajat takwa.
2. Allah SWT sebagai pemegang otoritas mutlak Maha mengetahui atas apa yang telah diperbuat makhluknya untuk kehidupan yang lebih abadi(akhirat), dalam hal ini manusia dituntut untuk mempersiapakn bekal untuk mencapai kebahagiaan di akhirat nanti
3. konsep pengabdian kepada Allah SWT senantiasa melandasi umat manusia untuk berbuat baik.
Seorang pemimimpin menurut islam setidaknya memiliki empat sifat terpuji yaitu: siddiq, Amanah, Fatonah, tabligh. Ada juga sifat lain yang semestinya dimiliki oleh seorang pemimpin sebagaimana tersebut dalam QS.As-Sajadah 32:24 dan QS.Al-Anbiya’ 21:73 yaitu:
1. Kesabaran dan ketabahan
2. Mengantarkan masyarakat pada tujuan yang sesuai dengan petunjuk Allah SWT.
3. Membudayakan kebajikan
4. ‘Abidin(orang yang taat beribadah)
5. Penuh keyakinan atau optimisme
2.Pengawasan
Fungsi pengawasan ini bermula dari kebutuhan akan kesinambungan kinerja yang efektif dan efisien.pengawasan yang mendasar juga sangat diperhatikan dalam bingkai agama. Landasannya yaitu bahwa hakikat penciptaan manusia semata untuk mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian ini memiliki dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal. Vertikal misalnya melakukan ibadah-ibadah yang bersifat ritualistik-normatif, sedangkan horizontal berupa hubungan sosiologis sesama umat manusia.
Bentuk pertanggungjawaban kinerja umat manusia dalam kenyataannya membutuhkan pengawasan untuk meninjau sejauh mana proses kefitrahan manusia itu dijaga dan dijalankan pada jalurnya. Fungsi pengawasan ini sesungguhnya telah dijalankan Allah SWT terhadap makhluknya sebagaimana dalam QS.An-Nisa 4:135.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia[361] Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Tambahkan Komentar